Tentang Movie

Film (cara pengucapan: [Filêm] atau Félêm) adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (semula pelesetan untuk ‘berpindah gambar’). Film, secara kolektif, sering disebut ‘sinema’. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis.

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi.

kategori film menurut genre:
[+] Film animasi
[+] Film biografi
[+] Film dokumenter
[+] Film drama
[+]Film fiksi ilmiah
[+] Film horor
[+] Film berdasarkan kisah nyata
[+] Film komedi
[+] Film laga
[+] Film musikal
[+] Film Natal
[+] Film berdasarkan novel
[+] Film perang
[+] Film berdasarkan permainan komputer dan video
[+] Film petualangan
[+] Film porno
[+] Film remaja
[+] Film seni bela diri
[+] Film superhero
[+] Film thriller

Lahirnya Sebuah Gerakan dalam Film
Telah lahirkah gerakan sinema yang baru di Indonesia?

Secara historis, perubahan-perubahan yang terjadi dalam perfilman sebuah negara dapat ditelusuri dari gerakan-gerakan film yang terorganisasi di dalamnya. Sebelum kita merumuskan keberadaan sebuah gerakan, tentu ada beberapa aspek penting dalam perfilman yang perlu dikaji.

Pertama, sebuah gerakan film biasanya dilihat dari jenis film-film yang diproduksi dalam periode tertentu yang memiliki unsur-unsur yang signifikan dari segi gaya (style) dan bentuk (form). Gaya dalam sebuah film menunjukkan perkembangan dan penggunaan berarti dari unsur-unsur seperti mise-en-scene atau pengadeganan, sinematografi, suara, tata artistik, dan editing. Sementara itu, unsur bentuk (form) dalam film merupakan formulasi naratif dan non-naratif dari segi struktur atau sistem dan tema.

Selain ini, cara-cara lain untuk mendefinisikan sebuah konteks historis dalam sebuah perfilman adalah mengkaji biografi seorang sutradara dan melakukan studi genre atau pengelompokan jenis-jenis film. Perlu ditekankan bahwa sebuah gerakan film melibatkan film itu sendiri dan aktivitas para pembuat film, sehingga perlu dikaji. Karena itu, selain memperhatikan kualitas gaya dan bentuk film, tentu faktor lainnya seperti kondisi industri perfilman, teori-teori artistik yang dipegang oleh para pembuat film, aspek teknologi dan elemen-elemen sosio-ekonomi-politik dalam periode dan negara tersebut harus diperhatikan.

Faktor-faktor di atas penting untuk menjelaskan bagaimana sebuah gerakan lahir, apa yang telah membentuk perkembangannya, dan apa yang menyebabkan kemundurannya. Materi ini kemudian akan menyediakan sebuah konteks untuk mendiskusikan sebuah gerakan film.

Sebelum saya masuk ke pembicaraan tentang perubahan-perubahan penting yang terjadi di perfilman Indonesia, kita perlu memahami perkembangan gerakan di berbagai negara. Salah satu gerakan yang paling penting karena skala gerakan ini telah mempengaruhi dunia perfilman sampai hari ini adalah yang dikenal sebagai sinema klasik Hollywood. Sinema yang berasal dari Amerika Serikat ini memiliki sejarah yang berjalan paralel dengan lahirnya media yang dinamakan film, lebih dari 100 tahun yang lalu.

Salah satu karakteristik sinema klasik Hollywood adalah penerapan struktur naratif yang mengetengahkan kausalitas sebagai unsur yang utama dalam bercerita. Struktur yang disempurnakan oleh sistem studio di Hollywood ini memiliki konvensi-konvensi yang lain, misalnya asumsi bahwa action terjadi dari karakter-karakter individu yang berperan sebagai agen penyebab yang kemudian menggerakkan faktor naratif, atau asumsi bahwa semua jawaban dan konflik akan diselesaikan pada akhir cerita.

Formulasi sinema klasik Hollywood dilakukan oleh para teoretisi film seperti Andre Bazin, Christian Metz, David Bordwell, dan Kristin Thompson antara tahun 1950 dan 1980. Melalui analisis teks film, mereka memberikan kerangka kepada struktur naratif klasik dengan mengkaji kode-kode sinematik dalam film-film produksi Hollywood. Analisis estetika terhadap bahasa film ini telah mengangkat film menjadi sebuah bentuk kesenian yang tinggi. Menurut Andre Bazin di dalam edisi perdana Cahiers du Cinema pada tahun 1951, sinema klasik Hollywood menemukan puncaknya di tahun 1939 dengan terjadinya sebuah revolusi dalam menciptakan bahasa film yang sempurna dari segi pencapaian gaya dan bentuk, dengan analisisnya terhadap film-film western, khususnya film berjudul Stagecoach (John Ford, 1939).

Film-film yang diproduksi setelah tahun 1940 disebut sebagai film dalam periode pasca-klasik Hollywood, dengan sinema yang dideskripsikan sebagai tidak murni, sangat fleksibel, mencampuradukkan strategi-strategi estetis dan genre, menampilkan tema-tema yang topikal dan kontroversial, serta ada unsur bermain-main dalam film-film tersebut.

Di awal tahun 1960-an, terjadi berbagai renaissance artistik di sinema dunia seperti French nouvelle vague, new Hollywood, dan hadirnya teori dan kritik film Anglo-Amerika yang memberikan konteks kepada perubahan-perubahan dalam industri perfilman. Film yang dianggap memulai era baru Hollywood adalah film Bonnie and Clyde (Arthur Penn, 1967). Majalah Time pada Desember 1967 mengumumkan terjadinya sebuah renaissance dalam kultur film Amerika dengan kehadiran film ini. Bagi para kritikus dan teoretisi film, renaissance ini akhirnya terjadi pada saat karakteristik tradisional pembuatan film AS digabung dengan intelektualisme dan inovasi-inovasi gaya dari sutradara-sutradara dan gerakan-gerakan baru sinema Eropa. Delapan tahun kemudian—setelah sinema Amerika memproduksi sejumlah film yang subtansial—istilah sinema new Hollywood menjadi popular untuk mendiskusikan karya-karya sutradara seperti Robert Altman, Sydney Pollack, John Boorman, Steven Spielberg, dan Hal Ashby. Ada gerakan-gerakan dalam film yang kehadirannya diproklamasikan sendiri oleh para pembuat film, seperti free British cinema dan new German cinema.

Tiga sutradara Inggris, yakni Lindsay Anderson, Karel Reisz, dan Tony Richardson, merupakan pendiri gerakan free British cinema yang memproduksi sejumlah film pendek dan dokumenter di luar jalur industri film antara tahun 1956 dan 1959. Film-filmnya memfokuskan ke pernyataan-pernyataan personal mengenai masyarakat kontemporer Inggris. Mereka menampilkan representasi kelas pekerja di Inggris sedekat mungkin dengan realitas, tanpa visualisasi yang dipaksakan.

Sementara itu, new German cinema lahir pada tahun 1962, dengan sebuah pernyataan yang disebut sebagai “Oberhausen Manifesto”, yang ditandatangani oleh 26 sutradara muda, antara lain Rainer Werner Fassbinder, Wim Wenders, Werner Herzog, Volker Schlondorff, Jean-Marie Straub, dan Alexander Kluge. Manifesto ini menolak kemapanan industri film Jerman pada zaman itu dan mendukung perkembangan sebuah industri yang bersifat internasional. Kebanyakan dari film-film gerakan ini menampilkan motivasi politik dan sosial dengan tema-tema rasisme, fasisme, dan kondisi negara Jerman kontemporer secara umum.

Salah satu bagian yang penting dalam perkembangan gerakan ini adalah keberadaan sutradara perempuan, yang muncul bersamaan dengan gerakan feminisme di Jerman pada tahun 1970-an. Sekitar 56 sutradara perempuan telah menyumbang dalam gerakan ini dengan film panjang, pendek, dan eksperimental, antara lain tentang masalah-masalah topikal seperti aborsi, kekerasan domestik, kondisi dalam pekerjaan, dan kemungkinan-kemungkinan perubahan sosial di masyarakat Jerman Barat. Jutta Bruckner, Margarethe von Trotta, Doris Dorie, Helke Sander, dan Helma Sanders-Brahms merupakan sutradara-sutradara yang lahir dari gerakan sineas baru ini.

Identifikasi, deskripsi, dan evaluasi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam sebuah perfilman biasanya melalui periode tertentu dan melibatkan jumlah film yang banyak. Gerakan sinema klasik Hollywood, misalnya, dikonseptualisasi oleh sekian banyak kritikus, teoretisi film, dan media massa dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun, serta melibatkan ribuan film untuk mencari persamaan atau kualitas generik.

Bagaimana dengan gerakan dalam perfilman Indonesia sekarang ini? Banyak istilah-istilah dan label-label yang diberikan ke perkembangan sinema Indonesia dalam lima tahun terakhir. Ada yang menyebut munculnya film Kuldesak (Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Reza, Rizal Manthovani, 1998) sebagai permulaan gerakan “sinema gerilya” atau “sinema independen Indonesia”. Ada pula yang menyebut film-film digital sebagai sebuah revolusi digital. Apakah masih terlalu dini untuk memformulaisasi sebuah gerakan karena jumlah film yang terlalu sedikit? Perkembangan apa yang terjadi sehingga bermunculan bentuk ekspresi dan sistem produksi yang beragam? Inovasi gaya dan tema apakah yang paling penting yang telah diperkenalkan? Apa hubungan inovasi ini dengan perubahan dalam perfilman? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu dijawab sebelum kita dapat memperkenalkan sebuah sistem yang baru dalam kosakata sebuah perfilman.

Setahun silam, Jakarta International Film Festival yang kedua menyusun sebuah program yang disebut sebagai sinema baru Indonesia. Beberapa film digital diputar, antara lain film Pachinko karya Harry Suharyadi, Sebuah Pertanyaan tentang Cinta (Enison Sinaro), Bintang Jatuh (Rudi Soejarwadi), dan Culik (Teddy Soeriaatmadja). Film yang terakhir adalah sebuah karya yang menggunakan bahan baku film seluloid yang kemudian diselesaikan dalam bentuk digital video. Dari segi gaya dan bentuk, film-film ini tidak mempunyai persamaan yang mencolok. Namun, aspek perkembangan teknologi, karakteristik dari para pembuat film, serta kondisi perfilman menjadi determinan yang relevan.

Film-film ini (saya menggunakan istilah film juga untuk karya digital yang pernah diputar di depan publik yang membayar) dan yang lain lahir dari para pembuat film yang sekaligus menjadi sutradara dan produser dari karyanya. Mereka mewakili generasi yang tidak mengalami ataupun menolak sistem produksi perfilman Indonesia, yang dibatasi oleh peraturan pemerintah yang bersifat proteksionis tapi pada akhirnya mengekang perkembangan. Mereka juga generasi yang selama satu dasawarsa tidak menonton iklan di televisi, kemudian secara simultan disuguhi sekian banyak jenis program dari stasiun-stasiun televisi dunia lewat parabola, peminjaman film-film dari luar lewat kaset-kaset bajakan dalam format Betamax, laserdisc, VHS, dan sekarang DVD dan video streaming dari internet, serta permainan games lewat console seperti Nintendo dan Playstation.

Keakraban dengan bentuk-bentuk kompleks komunikasi audiovisual menciptakan para pembuat film dan penonton yang mencari pengalaman filmis yang dinamis secara visual, kaya dari segi gaya, dan bentuk naratif yang hybrid. Salah satu karakteristik generasi ini adalah minimnya pengetahuan tentang perfilman Indonesia. Ini disebabkan oleh sedikitnya film Indonesia yang diproduksi dan didistribusikan sejak delapan tahun terakhir. Film-film yang diputar di stasiun televisi swasta ataupun TVRI memiliki kualitas transfer yang terlalu buruk untuk dinikmati. Generasi ini lebih mengenal film-film mainstream Amerika yang diputar di bioskop, musik video dari MTV, ataupun yang diproduksi di Indonesia. Tentu saja ada pengecualian, terutama sutradara-sutradara jebolan atau lulusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, yang memiliki lebih banyak kesempatan untuk menonton film-film Indonesia yang jarang ditayangkan ke publik.

Suatu hal yang menarik dari para pembuat film muda sekarang adalah kesadaran bahwa proses penciptaan sebuah karya tidak lepas dari faktor ekonomi. Berbeda dengan perfilman negara-negara lain, yang memiliki sistem subsidi, keringanan pajak, dan bantuan pendanaan dari pihak pemerintah ataupun swasta, para sineas Indonesia harus memikirkan pasar sebagai sumber pendanaan karena tingginya biaya produksi sebuah film dan sempitnya jalur distribusi. Situasi perkembangan teknologi digital telah menciptakan sebuah demokratisasi dalam pembuatan film. Dengan modal kamera digital dan komputer desktop, siapa pun dapat membuat karya film dan dapat mendistribusikannya kepada khalayak ramai. Demokratisasi ini juga berlaku untuk para penonton yang memiliki sajian yang beragam dari berbagai media yang bisa mereka pilih sesuai dengan selera dan keinginan.

Sebuah konseptualisasi dari gerakan film di Indonesia membutuhkan pengendapan elemen-elemen yang sekarang hadir secara sporadis dan sering sekali terisolasi. Yang terjadi sekarang adalah sebuah sinema Indonesia yang berada dalam transisi, sebuah regenerasi dari kultur film Indonesia, sebuah sinema baru Indonesia tapi masih dalam bentuk embrio.

Tinggalkan komentar